Archives for posts with tag: tanggung jawab

Aku pernah iseng bertanya, apakah dia benar-benar mencintai laki-laki itu, laki-laki yang baru dikenalnya dan hendak menggenapinya itu?

Dan dengan jujur dan polos dia menjawab:

“Belum, bagaimana bisa mencintai jika belum kenal lama, jika belum dekat. Aku tahu kalau rasa cinta tidak bisa dipaksa. Tapi hati bisa dikondisikan. Aku hanya akan berusaha untuk menajadi pasangan yang baik baginya, berusaha untuk menjalankan hak dan kewajibanku sebaik mungkin, dan dia juga sudah berjanji akan melakukan hal yang sama. Bagi sepasang manusia yang saling menggenapi, mencintai adalah salah satu kewajiban. Tuhan sudah menjodohkan aku dan dia, aku punya kewajiban untuk mencintainya.”

“…”

“Jadi tak perlu ditanyakan lagi cinta atau tidak. Setelah semuanya sah, cinta akan langsung menjelma menjadi tanggungjawab, menjadi hak dan kewajiban dalam keseharian. Toh, ada sepasang manusia yang dijanjikan berjodoh bukan hanya di dunia, tapi sampai di syurga kelak; sepasang manusia yang saling mencintai karena-Nya. Dan aku berharap bisa termasuk ke dalamnya.”

Genap, Nazrul Anwar

Salah satu alasan kenapa dulu saya takut menikah adalah saya tidak siap dengan hadirnya orang baru, apalagi keluarga baru, dalam hidup. Jika hanya sekedar teman baru tidak masalah, karena ia tidak akan hidup “membayangi”. Kita bisa berinteraksi secukupnya saja. Lain halnya dengan pasangan hidup. Mau tidak mau kita pasti akan terikat dengan orang tersebut sepanjang hidup. Kita akan beradaptasi dengan cara hidup yang baru. Belum lagi banyaknya perbedaan-perbedaan di antara keduanya. Dulu saya kira ibu saya hanya bercanda ketika mengatakan bahwa cara memijit odol bisa menyebabkan suami istri bertengkar. Eh dalam sebuah seminar yang saya ikuti, sang pembicara bercerita bahwa di awal pernikahannya dengan sang suami, urusan berbeda cara dalam memijit bungkus odol ini menjadi sebuah masalah. Hha. It’s funny, isn’t it?

Saya merasa bahwa tanggung jawab seorang istri itu sangat besar dan saya yang “cemen” ini tidak berani mengambil resiko tersebut. Entah kenapa dulu saya selalu bergetar sedemikian hebatnya ketika mendengar tanggung jawab seorang istri, saya selalu takut dan khawatir. Mungkin saya terlalu nyaman dengan kondisi yang ada. Saya terlalu “malas” untuk beradaptasi dengan hal-hal baru. Dan saya juga khawatir karena buat saya, menikah berarti sekaligus “mempertaruhkan” kehidupan akhirat saya kelak. Meski saya tahu dan sadar bahwa kualitas seorang perempuan tidak bergantung dari siapa yang mendampingi. Lihatlah Asiyah, ia perempuan mulia meski bersuamikan seorang Firaun yang keji dan bahkan mengaku dirinya sebagai Tuhan. Lihatlah istri nabi Nuh dan nabi Luth, meski bersuamikan seorang yang shaleh, itu tak menyebabkan mereka menjadi seorang beriman. Dan lihatlah Maryam, tanpa ada siapapun yang mendampinginya, itu tidak mengurangi kemuliaannya di sisi Allah.

Setiap kali saya bercerita pada orang tentang alasan saya tidak ingin menikah (dulu) hampir semua merasa aneh. Mungkin tidak umum ya seorang perempuan di umur saya tidak ingin menikah. But that happened to me. Hampir semua yang saya ceritakan ini justru bertanya balik tidakkah saya memiliki “fantasi” akan kehadiran suami, anak-anak, keseruan yang akan terjadi ketika menikah, dll. Sejujurnya tidak, saya tidak pernah berfantasi tentang itu. Hmmm atau mungkin sangat jarang. Saya jadi ingat ketika satu kali saya membahas ini dengan seseorang. Kami berdua “tidak sengaja” bertemu di dekat tempat wudu di mesjid  Salman. Nampaknya sudah menjadi kebiasaan pada sebagian orang yang sudah lama tidak bertemu hal pertama yang mereka tanyakan “Kapan menikah?”. Saat itu saya belum berkeinginan atau bahkan tidak memilik keinginan menikah, jadilah saya jawab saya “tidak” ingin menikah. Hahaha. akhirnya orang tersebut menasehati saya panjang lebar dan diakhiri dengan saya “dibekali” olehnya sebuah buku berjudul Kado Pernikahan karangan Mohammad Fauzil Adhim. Saya tertawa ketika diberi buku tersebut. Tapi orang ini bilang “Buat bekel Ry, kali aja nanti kamu niat nikah.” Akhirnya buku tersebut saya baca, ya lumayan untuk mengisi waktu luang pikir saya saat itu.

Di masa itu saya “rajin” datang ke kajian yang bertema pernikahan. Kebanyakan karena diajak oleh yang lain, saya sengaja datang karena jujur saja saya saat itu mencari “hidayah”. Karena bagaimanapun saya menyadari bahwa ada yang salah dengan diri saya ><.

Dan ketika akhir September 2014, saya memutuskan bahwa saya mau menikah (bahkan saya masih mengingat tanggal di mana saya mendapatkan “hidayah” 😉 ) Luar biasa ya cara Allah membolak-balikan hati hambaNya. Hanya dalam sekejap, saya yang tadinya begitu sinis terhadap pernikahan, ga mau nikah, takut nikah atau apapun itu namanya, tiba-tiba kepikiran mau nikah dan keinginan itu saya bawa menuju langkah yang lebih nyata, mulai “mencari” dan salah satunya membuat “proposal” yang saya titipkan pada mentor saya :D. Well, saya masih merasakan kekhawatiran yang sama bahkan sampai sekarang. Rasa khawatir dan ketakutan akan pernikahan sejujurnya tidak berkurang. Tapi saya juga memiliki pandangan yang baru bahwa sepertinya menikah tidak semenyeramkan itu (kayaknya). Saya merasa justru ketakutan saya akan pernikahan membuat saya lebih berhati-hati dalam banyak hal dan menyiapkan diri dengan lebih baik. Dan karena saya selalu memiliki bayangan “menakutkan” akan pernikahan, maka justru saya (mungkin) lebih siap menghadapi pernikahan itu sendiri (sotoy, mudah-mudahan bukan sombong ><). Saya tidak mengawali pikiran tentang pernikahan dengan hal-hal yang membahagiakan, romantis, dan selalu menyenangkan, tapi sebaliknya. Saya lihat pada banyak pasangan yang sudah memimpikan pernikahan itu isinya yang enak-enak, bahagia, menyenangkan justru tidak siap ketika mereka menghadapi kehidupan pernikahan yang sebenarnya. (padahal saya juga ga tau ya, hahaha) Tapi tidak masalah, bebas-bebas saja rasanya orang memiliki fantasi tertentu asalkan kaki tetap menapak ;).

Mudah-mudahan kita semua diberi kekuatan untuk menjalankan peran dan tanggung jawab kita, apapun itu.^^

Bandung, 2 April 2015

Selepas maghrib kemarin saya ngumpul dan ngobrol-ngobrol santai di ruang tamu sama mamah dan papah. Terus papah nelepon ade yang mau field trip bulam Jamuari. Beres nelepon papah cerita kalo dulu papah ga pernah ikut karyawisata dan kegiatan sejenis keluar kota, ga boleh sama emak (ibunya papah). Waktu jaman smp, emak bilang nanti aja ikutnya kalo udah sma. Pas udah sma dibilangnya nanti kalo udah kuliah. Dan ternyata pas udah kuliah pun masih ga boleh dan emak bilang nanti aja kalo udah kerja. Alhamdulillah ketika udah kerja beneran boleh pergi-pergi keluar kota gitu. Denger papah cerita gitu saya nyeletuk, “Pantesan we ya kalo papah ngelarang-larang ii, papah aja yang laki-laki dulunya dilarang-larang. Hehehe.”. Saya jadi inget waktu papah mengungkapkan alasan kenapa tidak mengijinkan anak perempuannya kerja diluar kota. Selama ini kan papah cuma bilang ah di Bandung aja, yang deket aja. Papah bilang hatinya ga tenang. Beda rasanya ketika ngelepas anak buat sekolah sama buat kerja. Ketika sekolah apalagi dulu di pesantren serasa terjamin ada guru-guru dan Pembina asrama yang jagai. Ataupun ketika ngelepas ade buat kuliah di Bogor ya karena kuliah katanya masih lebih kondusif lingkungannya. Lagipula ade kan laki-laki. Tapi ketika waktu Shofy yang minta ijin buat kuliah di Jogja, ga diijinin, padahal udah keterima loh. Kata papah ambil yang di Bandung aja. Papah bilang jangankan buat kerja diluar kota gitu, kalo anaknya pulang telat aja suka deg-degan.

Setelah merhatiin pola (?) kayaknya perlakuan ke anak perempuan sama laki-laki emang agak beda. Contohnya aja jam pulang. Kalo hari di luar hari kerja, jam pulang itu jam 5. Kalo jam 5 belom pulang biasanya hape udah krang kring sms dari papah yang nanya di mana, mau pulang jam berapa, dan ngasih tau udah mau maghrib. Malah kadang bilang udah maghrib padahala masih jam 5 dan kalo udah gitu adik saya yang cewe suka sebel dan malah sengaja ngelama-lamain ga pulang-pulang. Hahaha. *baong* Tapi kalo ade yang cowo beda. Dia malah baru keluar rumah ba’da maghrib atau ba’da isya, biasanya futsal. Hobi bener bocah satu ini futsal. Tiap pulang pasti adaaa aja yang ngajakin. Kalo jam 11 malem belom pulang baru deh ditelpon atau sms ditanya mau pulang atau ngga. Dan biasanya berakhir dengan ga pulang dan nginep di kosan temennya. Nah pas bulan kemaren saya keluar berdua sama ade yang cowo, maghrib masih di jalan pulang. Dan sampe nyampe rumah pun ga krang kring ini hape biasanya mah udah rame. Hehehe. Akhirnya saya tau kalo jalan sama yang cowo mungkin papah ngerasa lebih aman kali ya, ngerasa anak perempuannya ada yang jaga.

Kadang saya suka kepikiran, untuk hal-hal kaya gini aja papah jagain kami, anak-anak perempuannya (anak laki-laki juga sih), dengan luar biasa. Suka ngebayangin kalo ada seseorang yang datang dan meminta ijin untuk mengambil alih tanggung jawab papah atas anak perempuannya *halah* pasti papah mikir lebih lama, lebih dalam, dengan segala macam pertimbangan. Dan saya yakin ketika papah meng-iya-kan ataupun menolak siapapun itu semata karna papah sayang. Papah hanya ingin memastikan anak perempuannya akan berada di tangan yang tepat. Seseorang yang sama bertanggungjawabnya atau bahkan lebih, bersedia menjaga anak perempuannya yang udah dijaganya selama ini. Ga mungkin juga kan menyerahkan anak perempuannya ke sembarangan orang, ke orang yang papah ga yakin. Dan untuk urusan yang satu ini saya mempercayakan papah sepenuhnya. :”

Semakin dewasa semakin bisa memahami tindakan-tindakan orangtua yang sebetulnya mereka ga pernah ada niatan untuk nyusahin atau bikin kita sebel. Mereka ngelakuin itu karna sayang.

I do love you, pah!