Salah satu alasan kenapa dulu saya takut menikah adalah saya tidak siap dengan hadirnya orang baru, apalagi keluarga baru, dalam hidup. Jika hanya sekedar teman baru tidak masalah, karena ia tidak akan hidup “membayangi”. Kita bisa berinteraksi secukupnya saja. Lain halnya dengan pasangan hidup. Mau tidak mau kita pasti akan terikat dengan orang tersebut sepanjang hidup. Kita akan beradaptasi dengan cara hidup yang baru. Belum lagi banyaknya perbedaan-perbedaan di antara keduanya. Dulu saya kira ibu saya hanya bercanda ketika mengatakan bahwa cara memijit odol bisa menyebabkan suami istri bertengkar. Eh dalam sebuah seminar yang saya ikuti, sang pembicara bercerita bahwa di awal pernikahannya dengan sang suami, urusan berbeda cara dalam memijit bungkus odol ini menjadi sebuah masalah. Hha. It’s funny, isn’t it?
Saya merasa bahwa tanggung jawab seorang istri itu sangat besar dan saya yang “cemen” ini tidak berani mengambil resiko tersebut. Entah kenapa dulu saya selalu bergetar sedemikian hebatnya ketika mendengar tanggung jawab seorang istri, saya selalu takut dan khawatir. Mungkin saya terlalu nyaman dengan kondisi yang ada. Saya terlalu “malas” untuk beradaptasi dengan hal-hal baru. Dan saya juga khawatir karena buat saya, menikah berarti sekaligus “mempertaruhkan” kehidupan akhirat saya kelak. Meski saya tahu dan sadar bahwa kualitas seorang perempuan tidak bergantung dari siapa yang mendampingi. Lihatlah Asiyah, ia perempuan mulia meski bersuamikan seorang Firaun yang keji dan bahkan mengaku dirinya sebagai Tuhan. Lihatlah istri nabi Nuh dan nabi Luth, meski bersuamikan seorang yang shaleh, itu tak menyebabkan mereka menjadi seorang beriman. Dan lihatlah Maryam, tanpa ada siapapun yang mendampinginya, itu tidak mengurangi kemuliaannya di sisi Allah.
Setiap kali saya bercerita pada orang tentang alasan saya tidak ingin menikah (dulu) hampir semua merasa aneh. Mungkin tidak umum ya seorang perempuan di umur saya tidak ingin menikah. But that happened to me. Hampir semua yang saya ceritakan ini justru bertanya balik tidakkah saya memiliki “fantasi” akan kehadiran suami, anak-anak, keseruan yang akan terjadi ketika menikah, dll. Sejujurnya tidak, saya tidak pernah berfantasi tentang itu. Hmmm atau mungkin sangat jarang. Saya jadi ingat ketika satu kali saya membahas ini dengan seseorang. Kami berdua “tidak sengaja” bertemu di dekat tempat wudu di mesjid Salman. Nampaknya sudah menjadi kebiasaan pada sebagian orang yang sudah lama tidak bertemu hal pertama yang mereka tanyakan “Kapan menikah?”. Saat itu saya belum berkeinginan atau bahkan tidak memilik keinginan menikah, jadilah saya jawab saya “tidak” ingin menikah. Hahaha. akhirnya orang tersebut menasehati saya panjang lebar dan diakhiri dengan saya “dibekali” olehnya sebuah buku berjudul Kado Pernikahan karangan Mohammad Fauzil Adhim. Saya tertawa ketika diberi buku tersebut. Tapi orang ini bilang “Buat bekel Ry, kali aja nanti kamu niat nikah.” Akhirnya buku tersebut saya baca, ya lumayan untuk mengisi waktu luang pikir saya saat itu.
Di masa itu saya “rajin” datang ke kajian yang bertema pernikahan. Kebanyakan karena diajak oleh yang lain, saya sengaja datang karena jujur saja saya saat itu mencari “hidayah”. Karena bagaimanapun saya menyadari bahwa ada yang salah dengan diri saya ><.
Dan ketika akhir September 2014, saya memutuskan bahwa saya mau menikah (bahkan saya masih mengingat tanggal di mana saya mendapatkan “hidayah” 😉 ) Luar biasa ya cara Allah membolak-balikan hati hambaNya. Hanya dalam sekejap, saya yang tadinya begitu sinis terhadap pernikahan, ga mau nikah, takut nikah atau apapun itu namanya, tiba-tiba kepikiran mau nikah dan keinginan itu saya bawa menuju langkah yang lebih nyata, mulai “mencari” dan salah satunya membuat “proposal” yang saya titipkan pada mentor saya :D. Well, saya masih merasakan kekhawatiran yang sama bahkan sampai sekarang. Rasa khawatir dan ketakutan akan pernikahan sejujurnya tidak berkurang. Tapi saya juga memiliki pandangan yang baru bahwa sepertinya menikah tidak semenyeramkan itu (kayaknya). Saya merasa justru ketakutan saya akan pernikahan membuat saya lebih berhati-hati dalam banyak hal dan menyiapkan diri dengan lebih baik. Dan karena saya selalu memiliki bayangan “menakutkan” akan pernikahan, maka justru saya (mungkin) lebih siap menghadapi pernikahan itu sendiri (sotoy, mudah-mudahan bukan sombong ><). Saya tidak mengawali pikiran tentang pernikahan dengan hal-hal yang membahagiakan, romantis, dan selalu menyenangkan, tapi sebaliknya. Saya lihat pada banyak pasangan yang sudah memimpikan pernikahan itu isinya yang enak-enak, bahagia, menyenangkan justru tidak siap ketika mereka menghadapi kehidupan pernikahan yang sebenarnya. (padahal saya juga ga tau ya, hahaha) Tapi tidak masalah, bebas-bebas saja rasanya orang memiliki fantasi tertentu asalkan kaki tetap menapak ;).
Mudah-mudahan kita semua diberi kekuatan untuk menjalankan peran dan tanggung jawab kita, apapun itu.^^
Bandung, 2 April 2015